welcome itu selamat datang
di blog anggawedhaswhara
untuk mengunjungi websitenya,
silahkan scan QR-Code berikut

whatyourart

enter itu masuk

Monday, December 04, 2006

MELAWAN REVOLUSI HIJAU

oleh: Anggawedhaswhara1

Ketika manusia beranjak maju guna mencapai tujuannya yakni menaklukkan alam, ia telah menoreh catatan-catatan mengenai kerusakan mengerikan yang mengarah bukan saja pada bumi tempat ia tinggal, tapi juga pada sesama makhluk hidup lainnya.
(Rachel Carson, akhir musim panas 1962)


Kolonialisasi lama hanya merampas tanah,
Sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan
(Vandana Shiva, dalam Neoliberalisme Menumpas Petani karya Khudori)


1. Pada Mulanya
Masalah besar yang dihadapi Indonesia untuk memacu modernisasi adalah pangan dan kepadatan penduduk. Sampai 1960-an Indonesia masih menjadi salah satu importir beras terbesar. Ahli ekonomi dan ilmu sosial memahaminya sebagai akibat keterbelakangan teknologi dan laju pertambahan penduduk yang pesat. Untuk mengatasi masalah pertama pemerintah mengundang ahli pertanian dari berbagai negara dan sebaliknya mengirim tenaga dari Indonesia untuk mempelajari modernisasi sektor pertanian yang dikenal dengan sebutan “revolusi hijau”.
Salah satu lembaga terpenting adalah International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk di Filipina tahun 1960 dengan dukungan Yayasan Ford dan Rockefeller. Penguasa Orde Baru mulai bekerjasama dengan lembaga ini sejak Desember 1972 untuk mengembangkan alat bioteknologi, intensifikasi pertanian, pengendalian hama dan teknik mekanisasi pertanian. Banyak dari 832 ahli Indonesia lulusan IRRI antara 1963 dan 1997 yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
Sejalan dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan (kadang dengan paksa) dan petani diharuskan menanam bibit keluaran lembaga penelitian itu yang bekerjasama dengan bisnis pertanian. Di satu pihak terjadi peningkatan produktivitas yang mencapai puncaknya pada swasembada pangan 1984, tapi di sisi lain sistem monokultur mengganggu keragaman hayati dan juga cara-cara tradisional yang ternyata lebih efektif untuk menghadapi situasi krisis. Komersialisasi pengetahuan dan teknik pertanian membuat semakin banyak petani yang tersingkir dari tanah mereka karena tidak mampu mengikuti “tuntutan pasar” yang semakin meluas.
Berakar dari paparan sejarah tersebut, akhirnya Revolusi Hijau telah menjadi catatan hitam tersendiri pada bidang pertanian. Ia menjadi satu monster yang menakutkan. Menjadi momok yang menyebalkan dalam tatanan masyarakat. Merusak keragaman hayati. Merusak tanah dan lingkungan secara biologis, fisis dan kimiawi. Menciptakan ketergantungan pada pupuk dan pestisida.

2. Beberapa Fakta Luka
Dari fakta sejarah kita dapat melihat bahwa sejak Orde Baru berkuasa, sesungguhnya perekonomian Indonesia dikendalikan oleh satu sindikasi besar di bidang ekonomi, yang melibatkan ahli ekonomi Indonesia, pemilik modal, bankir, militer dan politisi dari dalam maupun luar negeri serta lembaga keuangan internasional. Jargon yang diusungnya adalah “pemulihan perekonomian Indonesia”, tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah pemutar haluan kebijakan ekonomi menjadi penganut kapitalisme pasar bebas.
Selama tahun-tahun pertama Orde Baru hampir semua aturan dan kebijakan mengenai ekonomi sesungguhnya dibuatkan rancangannya oleh IMF, Bank Dunia, USAID atau konsultan asing yang membanjiri Jakarta setelah Soekarno disingkirkan. Dalam perjanjian dengan Freeport McMoran yang sampai hari ini bercokol di Papua, ekonom Mohamad Sadli mengaku hanya minta ditunjukkan kolom-kolom yang harus ditandatanganinya. “Bagi kami yang penting adalah mendatangkan modal ke Indonesia,” katanya seperti dikutip Jeffrey Winters dalam Power in Motion (Merajut Sejarah Nasional, Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif )
Sejalan dengan itu semua, dalam bidang pertanian banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat kita nilai sebagai sebuah kejahatan global. Beberapa diantaranya adalah :
Dengan bantuan perusahaan transnasional seperti SYNGENTA, MONSANTO dll – disini nyata bahwa mereka telah menjadi agen revolusi hijau- Indonesia telah dirusak sumber daya hayati yang terkandung di dalamnya melalui pemaksaan penggunaan pupuk dan pestisida berlebih. Untuk penggunaan pestisida, bukan hanya alam kita saja yang dirusak tapi tubuh kita pun dibuat hancur karenanya. Faktanya, banyak sarjana-sarjana pertanian Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan transnasional tersebut dengan iming-iming gaji yang besar. Sungguh sarjana-sarjana pertanian kita telah disuap oleh kemewahan duniawi. Bahkan ketika salah satu teman penulis mencoba berargumen tantang pilihannya untuk tidak memasukan Monsanto sebagi tempat pilihan bekerja dengan alasan bahwa perusahaan ini memiliki track record yang buruk dibidang lingkungan, komentar kawan lainnya adalah, “Hari gini, mikirin itu....” dengan senyum ketus dan sentimentil berlebihan.
Bahwa lebih dari 8.000 varietas padi lokal yang dahulu tumbuh subur di Indonesia telah dirampas kepemilikannya dan disimpan di IRRI Filipina dengan hak cipta tertanda Amerika.
Penggunaan bibit kapas transgenik –yang diperkenalkan oleh perusahaan transnasional asal Amerika- telah terbukti gagal meningkatkan pendapatan produksi kapas para petani Sulawesi di tahun 2001
Amerika dan kroni-kroninya –dalam hal ini IMF dan Bank Dunia- telah mengakibatkan diimpornya beras besar-besaran ke negeri semata untuk menjadikan AS sebagai eksportir beras terbesar di dunia, padahal sesungguhnya persediaan beras Indonesia lebih daripada cukup. Jika saja alasan yang digunakan oleh pemerintah adalah agar harga jual beras dapan terjangkau oleh masyarakat luas alangkah lebih elegan dan bermartabat jika fokus kebijakan pemerintah diarahkan pada priduksi dan produktivitas padi. Atau melalui cara menekan serendah-rendahnya angka kehilangan panen yang saat ini sekitar 25-30 persen. Jika saja hal ini dapat dilakukan sesungguhnya kita tidak perlu mengekspor beras besar-besaran ke Indonesia. Fakta yang terjadi dilapangan adalah, bahwa perwakilan Bank Dunia di Indonesia telah menyatakan keberatannya terhadap usulan Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional tentang Pembatasan impor. Sikap Bank Dunia dipertegas lagi oleh ekonom Neil McColloch pada awal 2004, bahwa sesungguhnya rakyat miskin akan disejakterakan jika pemerintah menerapkan kebijakan perdagangan beras yang terbuka. Caranya dengan menghapus bea masuk impor atau setidaknya menetapkan bea masuk yang rendah. Dan ini sejalan dengan yang dilakukan IMF pada Maret 1999 yang menekan pemerintah untuk menurunkan bea masuk impor beras maksimal 5 persen.
Hingga berjuta petani di Indonesia: kehilangan hak atas tanahnya. Tak ada modal untuk bertani. Semua harus dibeli. Pupuk kimia, bibit hibrida, hingga pestisida: membuat mereka lebih sengsara. Saat panen tiba, harga-harga dibanting semuanya. Lalu pedagang-pedagang dikota, berpesta pora menikmati rentenya. Selalu begitu. Mereka terbiasa diam ketika ditipu. Mereka hanya berharap sang ratu adil akan membebaskan anak cucu.

3. Gerakan Organik Sebagai Revolusi Hijau Sesungguhnya
Sesungguhnya petani Indonesia –khususnya petani di luar Jawa- saat ini secara tidak sengaja dan di luar kesadarannya telah melakukan perlawanan terhadap apa yang selama ini di percayai sebagai “revolusi hijau”. Mereka adalah petani-petani yang tidak menjadi target ataupun turut serta dalam revolusi hijau dan akhirnya tetap melakukan pertanian dengan cara yang konvensional. Dilain pihak banyak petani yang tidak sanggup membeli pupuk dan pestisida akibat pencabutan subsidi oleh pemerintah. Disini terlihat jelas bahwa sesungguhnya pertanian organik memiliki arti yang penting dalam masyarakat Indonesia. Sehingga pentinglah digagas suatu Gerakan Pertanian Organik sebagai alternatif perlawanan terhadap dominasi Revolusi Hijau –dalam hal ini ketergantungan terhadap pupuk kimia, pestisida dan bahan-bahan pertanian lainnya yang sejenis-
Awalnya, gerakan organik diragukan keberhasilannya. Hal ini persis seperti yang diungkapkan oleh Kepala Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, yang mendukung habis-habisan revolusi hijau sebagai gerakan yang penting di dunia pertanian Indonesia. Ia pun berpendapat bahwa pertanian organik tidak akan sanggup mengatasi masalah bertambahnya kebutuhan bahan pangan seperti yang diramalkan Maltus. Masih katanya, bahwa pertanian organik tidak efektif dalam mengatasi kelaparan sebab membutuhkan masukan organik yang banyak.
Disisi lain, dia lupa bahwa Gerakan Revolusi Hijau telah menghancurkan tatanan dan kearifan-kearifan lokal yang dilakukan petani zaman dulu. Petani telah dibuatnya lupa akan pentingnya memanfaatkan sisa-sisa panen untuk diolah kembali menjadi bahan organik yang dibutuhkan tanah. Tanah telah dibuatnya rusak dengan asupan pupuk kimia berlebih. Pengolahan tanah menggunakan mesin-mesin berat telah mengakibatkan tanah-tanah pertanian menjadi padat. Dan penggunaan pestisida yang gila-gilaan telah membuat musuh-musuh alami yang berguna dalam rantai makanan hilang.
Sebetulnya ditingkat nasional, gerakan pertanian organik telah disepakati untuk menjadi gerakan industrialisasi pedesaan yang berkelanjutan. Petani diyakini sejahtera setelah lepas dari ketergantungan terhadap benih, pupuk, dan pestisida (Kompas, 25 November 2006).
Yang paling hebat, saat ini gerakan pertanian organik telah didukung oleh banyak pihak. Bahkan organisasi-organisasi non pemerintah yang membela kaum tani banyak bermunculan. Gerakan Pertanian Organik seolah-olah menjadi sebuah “ideologi” baru sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni perusahaan-perusahaan transnasional –seperti Syngenta, Monsanto, dan sejenisnya- yang nyata-nyata telah merusak pertanian secara khusus dan lingkungan Indonesia secara umumnya.
Begitulah, kita kadang terlalu naif membiarkan diri kita menikmati asupan-asupan makanan yang mengenyangkan. Padahal banyak petani Indonesia yang diakhir panennya hanya mampu mengkonsumsi timun dan kerupuk saja.


Bandung, November 2006
anggawedhaswhara

1 Mahasiswa Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.

Related Posts with Thumbnails