welcome itu selamat datang
di blog anggawedhaswhara
untuk mengunjungi websitenya,
silahkan scan QR-Code berikut

whatyourart

enter itu masuk

Thursday, May 27, 2010

ENVIRONMENTAL ART


Presentasi karya performance art berdasarkan riset, pencermatan dan penangkapan terhadap gejala juga kejadian yang sedang terjadi di lingkungan tak lepas dari suhu kehidupan.

Lingkungan sebagai bagian dari oragan tubuh berkaitan dengan transformasi pemikiran presentasi karya bertempat di Pusat Kebudayaan Cigondewah di ikuti performance artist nasional dan internasional.

Berhubungan dengan riset air, Mahasiswa Kimia dari Singapura.

Acara di laksanakan pada tanggal 29 - 30 Mei 2010 di mulai jam 1 siang
di buka oleh warga, mahasiswa, dosen, dan instansi setempat

Seniman :
Tisna Sanjaya
Isa Perkasa
Rudi St Darma
Atieq S.S. Listyowati
W. Christiawan
R.Jabaril
Anggawedhaswhara
Agung Jek
Ackay Deni
Hendryeite Louis
Aliansyah
Iip Ipan
Mi-ink & Kelas Ajag
Asep Nugraha
Soge Ahmad
Fajar Abadi
Dinamokillig
Dll

Guest Star :
Karinding Militant
Pakbrung
Sasaka
Bob Teguh Dkk
Komunitas T-Shirt Harax
Dll


info lebih lanjut bisa dilihat di sini. mari kita bikin CEUYAH!

Wednesday, May 19, 2010

WHAT YOUR ART ARE FOR?


seni itu untuk kehidupan,
dia harus bisa memanusiakan manusia.
jika seni untuk seni (art for art), untuk apa?
mungkin itu sama seperti makan untuk makanan.


Ya, what your art are for?

Pertanyaan ini terus mengganggu keseharian sejak beberapa tahun terakhir ini. Mungkin sejak 2006 atau 2007. Saya, lupa pastinya. Yang jelas sejak saya membaca wawancara disalah satu harian terkemuka dengan KH. Mustofa Bisri. Ditanyalah dia oleh wartawan dalam sebuah artikel yang berbentuk tanya jawab. Pertanyaannya kira-kira begitulah. Tentang apa guna seni bagi beliau. Dan dijawablah dalam wawancara itu. Bahwa seni itu harus untuk manusia. Ya, kira-kira seperti yang saya tulis sebagai pembuka tulisan ini jawabannya.

Dan begitulah. Berbulan-bulan, bahkan sampai menahun sejak hari itu. Pertanyaan si wartawan tadi terus menerus mengganggu pikiran saya. Tapi, meski begitu saya tetap saja melakukan aktifitas berkesenian dengan mengikuti apa yang KH. Mustifa Bisri jawab pada pertanyaan itu. Sebab saya juga adalah seniman yang menganggap art for art adalah nonsense. Tanpa bermaksud sok pintar, atau balaga. Sebab apalah saya, seniman yang sama sekali tak punya latar belakang pendidikan formal kesenian. Bahkan kehadiran saya di jagad kesenian pun –dalam hal ini performance art—menjadi sebuah pertanyaan. Terlebih soal konsistensi kekaryaan dan bentukan kekaryaannya sendiri. Meski saya pernah ambil pusing mengenai hal itu, toh kemudian saya tetap keras kepala. Hinga akhirnya beberapa media meliput karya-karya saya. Bahkan kalo boleh berbangga, sepengetahuan saya. Sayalah satu-satunya performer artist muda yang karya performancenya menjadi cover sebuah tabloid mingguan di kota Bandung, meski hanya sebuah tabloid gratisan. Itu juga mungkinkarena fotografernya saja yang sukses mengambil gambar yang keren.

--- loh kenapa tiba-tiba tulisan ini menjadi sedikit keluar dari seharusnya? oke, kita luruskan lagi—

Kembali ke konteks dimula. Saya jadi ingat obrolan saya beberapa tahun kebelakang dengan Kang Arief Yudi dalam sebuah perjalanan pulang dari Kuala Lumpur selepas kami berdua turut serta dalam acara Notthatbalai Art Festival. Dimana? Ya disana, di Kuala Lumpur. Jika tidak salah ingat saat itu aktifitas di JAF masih pada tahap awal. Beliau bercerita tentang apa yang ingin diperbuatnya di kampung halamannya itu. Juga tentang apa-apa saja mimpi beliau bagi komunitas yang sedang dirintisnya itu. Hingga sampai pada kesimpulan akhir pembicaraan bahwa seni itu harus menjadi senjata untuk mensejahterakan masyarakat. Sejahtera disini dalam artian yang sangat luas. Sejahtera pengetahuan, sejahtera jiwa, sejahtera kehidupan, juga tentu saja sejahtera secara kehidupan. Bahwa seni itu harus untuk kehidupan yang lebih baik. Seni harus menjadi alat pemenuhan “dahaga” manusia. Jadi bukan seni untuk seni. Cocok! ini cocok dengan premis saya yang mengatakan non sense untuk art for art. Juga senada dengan apa yang dikatakan KH. Mustofa Bisri yang saya tuliskan dimuka.

Setelahnya. Saya masih tetap berkesenian. Masih keras kepala membuat karya performance art, meski diri ini masih saja diliputi pertanyaan, “what your art are for?”. Parahnya kekeras kepalaan saya mengakibatkan pertanyaan itu menjadi sesederhana, “buat apa kamu makan?” “ya buat memenuhi kebutuhan hidup”. begitulah akhirnya saya memandang kesenian yang saya jalani. Sekedar pemuas “lapar” , atau bisa jadi sekedar “haus tepuk tangan” –meminjam terminologi yang pernah diucapkan Ageng Purna Galih pada saya-. Dan saat itu saya tidak berpikir ada yang salah dengan itu. Sah-sah saja rasanya.

Hingga pada akhirnya saya diundang untuk ikut serta dalam 2nd International Performance Art in Residency yang diadakan oleh Jatiwangi Art Factory. Event –pake “e” bukan pake “i”- performance festival yang didahului dengan proses short residency selama satu minggu. Sebuah performance art festival yang benar-benar baru bagi saya dalam proses penciptaan karya. Setiap seniman yang diundang tidak membawa karya yang sudah jadi. Tapi lebih pada membawa karya “mentah” untuk kemudian di kaitkan dengan konteks lokal di Jatiwangi. Seniman dipaksa berinteraksi dengan masyarakat lokal dengan cara tinggal di rumah penduduk setempat untuk kemudian menggali “potensi” untuk seniman mensinergiskan karya “mentah”nya dengan konteks lokal. Kira-kira seperti itulah prosesnya berlangsung. Yang pada akhirnya saya baru tahu dari Juliana Yasin, bahwa event itu bukan performance art festival tapi lebih sebagai short residency festival.

Yang terjadi pada saya saat itu adalah tinggal dengan seorang petani. Saya datang tanpa tahu akan melakukan apa. Benar-benar mentah. Tapi kemudian pada detik-detik harus mempresentasikan karya, akhirnya bisa juga. Saat itu yang terjadi adalah saya benar-benar menikmati proses “penciptaan” karya. Saat itu saya mengalami membuat karya performance art yang benar-benar “dekat” dengan peristiwa. Mungkin saya terlambat. Banyak seniman yang telah melakukannya. Tapi kalo bicara mengenai diri saya, mungkin ini karya yang benar-benar saya temukan “klik” nya setelah karya Wheel Chair Story . Yang pasti saat itulah karya performance art saya menjadi terasa benar-benar “hidup” tak sekedar “hadir”.

Saat itu untuk ketigakalinya setelah peristiwa membaca wawancara dengan KH.Mustofa Bisri dan perjalanan pulang bersama Kang Arief Yudi. Saya benar-benar yakin bahwa seni itu bukan sekedar seni. Dia tak sekedar “hadir” tapi harus juga “hidup”.

Tapi bukanlah manusia jika imannya tidak “yazidu wa yan kudzu” –naik dan turun--. Setelah itu saya kembali membuat karya yang akhirnya hanya sekedar hadir. Tidak menjadi hidup. Meski untungnya tak sebanyak sebelumnya. Mungkin atas kesadaran bahwa karya itu harus “hidup” bukan sekedar “hadir” akhirnya saya cukup sering menolak undangan untuk performance. Jika meminjamkan istilah Agung Jek tadi malam, saat itu saya tidak ingin menghambur-hamburkan peluru.

Begitulah, sekedar pembuka catatan ini.


***


Karya, dalam pemikiran saya saat ini haruslah bisa hidup. Dia tidak sekedar ada, tidak sekedar menjadi. Tapi harus menciptakan peristiwa. Dia harus meruang, harus hadir sebagai sebuah mesin cetak sejarah. Mungkin bagi beberapa orang sudah. Mungkin juga bagi beberapa orang lainnya terlalu angkuh jika kita memposisikan seni seperti itu. Persetan saya pikir. Bukankah ini sedang membicarakan seni dalam pandangan saya? jadi, terserah saya saja.

---ko jadi terlalu serius?, baelah... –

Saya ingat pertanyaan Muktimukti pada peluncuran buku Kumpulan Puisi Ziarah Kata di GIM, yang mana dalam buku itu salah satu karya puisi saya disertakan.

“Lalu, setelah puisi selesai ditulis, lalu dibukukan, selanjutnya apa?”

“Dibaca”, jawab saya dengan naifnya.

“Setelah dibaca?”

“Orang mengerti”, jawaban naif nomor 2.

“Setelah itu lalu apa? apa gunanya buat orang yang membaca?”

“...”

“Seharusnya seniman itu bisa hadir di kehidupan nyata”, sambungnya

“Dia harus bisa berkontribusi bagi masyarakat, bukan sekedar seni untuk seni. Dia harus ada disana, memposisikan diri disana. Menciptakan persitiwa.”, katanya lagi.

“Bukan sekedar ada, dia juga harus hidup”, sahut saya sambil terus berpikir. Sementara didepan saya Frino Bariarcianur menjadi MC, dan Soge Ahmad murtad jadi fotografer.

Ya, pertanyaan Muktimukti akhirnya menjadi pencongkel nomor empat dalam kegelisahan saya.


***

Semalam, Alinalin Alunalun bercerita pada saya tentang bagaimana seorang Marina Abramovic mempersiapkan karyanya. Konon katanya, 1 bulan sebelum dia mempresentasikan karya performance artnya dia akan melakukan “puasa”. Hingga pada saat performancenya dilakukan dia dalam kondisi benar-benar lapar, dimana katanya dalam keadaan seperti itu keadaan seseorang dengan penciptanya sangatlah dekat –masih kata Alinalin Alunalun–

Begitupun Agung Jek bercerita tentang proses yang akan dilakukannya akhir tahun ini di Hanover, Jerman, untuk membuat satu karya performance dia harus melakukan brainstorming dan riset selama lebih dari 3 bulan lamanya. Hmmm, sementara banyak dari kita yang ketika diundang performance disuatu tempat, sontak saja mengatakan kesediaannya. Meski belum tahu mau bikin apa. Yang penting ada dulu di publikasi. Mungkin saya salahsatunya. Kasihan saya.

Bahkan banyak seniman yang secara kuantitas sangat sedikit membuat karya, tapi masing-masingnya memiliki efek ledak yang dahsyat. Baik secara kualitas kekaryaan, politik ruang, hingga politik waktunya di pikirkan masak-masak dalam sebuah riset yang tajam, dengan premis yang mantap. (hmmm, apa ini?)

Saya teringat juga obrolan saya dengan Frino Bariarcianur di Jatiwangi pada suatu masa.

“Bang, kapan bikin performance lagi?”, tanya saya

“Saya belum tahu mau bikin apa lagi”, jawabnya datar

“Wah, sayang bang. Padahal karya jalan mundur itu nampol banget bang!”

“Justru karena itu ngga, sy belum bisa lagi bikin karya semacam itu. Semacam trauma saya ngga. Sebab selepas performance it say ga bisa jalan normal sampai 3 hari lamanya.”, Frino mengaburkan jawaban seakan enggan menjawab dengan sejujurnya. Meski akhirnya saya hanya bisa menebak-nebak saja apa yang ada dikepalanya. bahwa dia sedang mempersiapkan karya monumental selanjutnya.

Saya ingat lagi pada obrolan dengan Muktimukti dalam acara peluncuran buku itu.

“Mungkin karyanya ga akan pernah selesai-selesai ngga, tapi catatan kakinya sudah banyak menyimpan peristiwa.”

“Ya, begitulah seharusnya karya seni”, saya pikir

“Dia harus HIDUP! bukan sekedar hadir”, teriak saya dalam hati.


***

Semalam, akhirnya saya utarakan pada AgungJek dan Alinalin Alunalun soal kegelisahan ini. Jawabannya adalah saya membatalkan keikutsertaan saya dalam performance art event yang akan dibuat pada tanggal 29 Mei ini di Pusat kebudayaan Cigondewah milik Tisna Sanjaya. Bukan karena saya tak tahu mau bikin apa. Tapi mungkin lebih pada pertanyaan. “Lalu setelah performance saya di presentasikan apa?”. Juga selain lebih baik saya berkonsentrasi pada apa yang akan saya lakukan di Jatiwangi tanggal 24 Juni – 9 Juli 2010 di acara Jatiwangi Art Residency Festival 2010 yang akan diadakan oleh Jatiwangi Art Factory. Komunitas seni yang mengajarkan banyak hal pada saya.


***


Akhirnya, jika Aminudin T.H. Siregar –kalo ga salah-- dalam sebuah harian mengatakan bahwa sebelum menjadi performer artis, hendaknya seniman belajar menggambar dulu. Saya berkata kemudian. Sebelum mebuat karya seni hendaknya seseorang belajar hidup dulu.

Ah, ngelantur saya. Kayak orang yang ngerti seni saja.

Yang pasti, saya sedang menceritakan saya. Bukan siapa-siapa. Jadi, kalo ada yang tersinggung, itu bukan urusan saya. Wong saya sedang menceritakan saya, bukan siapa-siapa.



Citeureup, 15 Mei 2010
anggawedhaswhara

Related Posts with Thumbnails