welcome itu selamat datang
di blog anggawedhaswhara
untuk mengunjungi websitenya,
silahkan scan QR-Code berikut

whatyourart

enter itu masuk

Friday, September 29, 2006




salam...

saya anggawedhaswhara. dan anda tengah berada dalam blog saya yang berisi tulisan-tulisan saya yang mungkintak laku dipasaran. tapi semoga anda suka dan bersenang hati membacanya... begitulah...

untuk kebutuhan korespondensi anda dapat mengirim e-mail pada saya ke anggawedhaswhara@yahoo.com. untuk kebutuhan kirim mengirim fisik bisa via paket atau diantar sendiri ke jl. laksamana muda nurtanio blk no 102 bandung. sedangkan bila anda ingin mendengar suara saya dapat menghubungi +62 818621998 / +62 22 6076650. begitulah...

semoga anda senang dan saya bergoyang...

selamat pagi selalu,

anggawedhaswhara

Thursday, September 28, 2006

manifesto 2 malam


1/
ah realitamu semu sayang. seperti sentimentilmu yang modis itu. menghujat wanita-wanita berkebaya model encim-encim di bawah tiang bendera sebesar pohon kelapa. sementara lihatlah adik-adikmu. wanita-wanita abg yang berkeliaran di mall-mall sekitaran ibukota. tanpa ragu menyombongkan anting-anting yang mereka pasang di pusar bahkan di kedua puting mereka yang ditonjolkan dibalik kemben berwarna kitam pekat. seperti warna pakaian seragammu.
15:31


2/
eh, masih ingat suara hujan dikamar kostmu sore itu sebelum pukul lima? harusnya kau ingat benar. sebab setiap rintiknya pun masih aku rasakan memukul langit-langit kamarmu yang bocor namun ajaibnya tak meninggalkan cucuran pada lantai kamarmu. sebaiknya kau sudah ingat sekarang. sebab aku akan mengirimkan gambar pelangi yang kita lihat melalui jendela kamar disudut kamar mandimu. kamu cantik sore itu.
15:37


3/
tiba-tiba aku teringat senja di tidar. saat wajahmu hadir dalam frame-frame kamera digitalku. sebab setelah gerimis itu ada pelangi yang menyegarkan lelahku. senja itu di tidar. ah, kamu redakan lelahku.
16:15

4/
malam ini menggeliat seperti air mata yang luruh dari mata birumu. eh, tapi rupanya senyummu manis juga? sudahlah, lupakan luluhan air serupa tangis itu dari harimu. sebab malam ini akan menyenangkanmu tanpa kasihan.
16:47

5/
kamu itu gokil ya!
pergi membunuh!
go, pergi... kill, bunuh...
gokil, pergi kau pembunuh!
16:56

6/
sok tah mangga... sing enggal modar!
kumargi anjeun geus ngareken goreng ka kaula...
emprak baraya!
17:02

7/
lah, sudah kukirimkan gambar pelangi waktu itu bukan? masa kau tak ingat? ayolah, coba untuk mengingatnya. sebab untuk menggambarnya lagi sungguh sebuah kesulitan berarti bagiku. sehingga janganlah pernah kau melupakannya. agar aku senang, mamah senang. tentunya kaupun juga bukan?
19:00 wib

8/
nah, sekarang aku yakin benar jika kau tak terlalu suka padaku. sebab sejak hari itu kau selalu mengantarkan jelaga sepanjang hariku. anjing benar kau.
sudahlah, tak perlu aku merajuk lagi.
19:18 wib

9/
esok akan kukirim seikat pelangi untukmu sayang. untuk menemani perjalananmu menuju toko buku yang sedang kita bangun. agar ceria perjalanmu. agar cerah langkahmu.
19:25 wib

10/
aku berputar seperti kepingan silver yang kau simpan di dalam cd room 24x. pusing benar rasanya, sebab alkohol pun sudah aku tinggalkan jauh hari sebelum kau meracunku dengan sonder party mu. ah, kamu.
19: 31 wib

11/
apalagi yang ingin kau kirimkan kedalam bis suratku, cantik. tak bosankah kau membuatku terus merasa bersalah dengan terus menghindariku. bukan itu saja cantik. kamarku sudah terlalu penuh dengan kardus-kardus mi instan yang berisikan kiriman-kirimanmu.
19:33 wib

12/
sekarang apalagi cantik. belum juga lelah kau mengirimiku gambar hujan itu? tidaklah kau sedikit berempati. bayangkan. ratusan ember berisikan gambar hujan seukuran kartupos memenuhi kamarmu. sekarang, itulah yang terjadi dengan kamarku. bahkan aku sudah kehabisan ember untuk menyimpan kirimanmu hari ini yang masih tersimpan dalam bis suratku yang seakan bergemericik kencang meminta dibuka.
19:58 wib

13/
diam, bis surat jalang! bosan benar aku mendengar detakmu yang menyebalkan itu. belum lagi bunyi hujan dari ribuan kartupos gila ini. sekarang seluruhnya mengeluarkan bunyi petir yang bersahutan. hujannya semakin lebat.
20:04 wib

14/
gila, kapan hujan itu berhenti?! lelah benar aku mendengarnya. gemericiknya tiada henti bersahutan antar setiap ember. bahkan antar kartupos didalam satu ember. terkadang membuat harmoni memang. tapi malam ini bunyinya cukup menyebalkan.
20:10 wib

15/
kenapa kau belum juga mengisi biru dalam resah hari ini? karena waktu sudah mendesak sayang. ayolah, jangan biarkan dinginku menunggu dahaga pesonamu mengisi bensin di pangkuan unta betina.
20:24 wib

16/
sialan! produktif benar kau hari ini. bahkan hujatan berubah menjadi syair bagimu. suit suiw... mirip di film-film saja.. edan euy...
20:29 wib

17/
danau itu berwarna merah pekat tadi malam. seperti dalam film horor saja aku, menutup mata dengan sepuluh jari yang tiba-tiba mengeluarkan darah segar. judulnya begini. pemuda penakut duduk didanau diganggu setan tangan mengeluarkan darah.
20:31 wib

18/
walau semalam gairah memuncak tak karuan. senyummu membuat luka, sayang. sebab pesona jiwa menggairahkan semesta memuncak. pun.
15:22 wib

19/
waktu itu malam gelap seperti buah manggis dari pohon yang ditanam pak lurah di tanah wakaf haji sanusi. seorang laki-laki separuh baya dengan ringkih masuk kedalam gubuk berukuran 3 x 4 meter di dekat dermaga tua itu. tak ada suara apa-apa saat ia masuk dengan tertatih itu. yang ada hanya lambaian tangan penuh kecemasan mengiringi lantunan keroncong kemayoran yang keluar dari cerobong asap yang dibuatnya dipojokan gubuk kecil itu.
16:41 wib

20/
nak, biarkan saja papamu pulang kerumah istri mudanya. sebab rajukanmu sudah tak lagi berguna. dan warna langit masih kuning muda. juga kain batik itu, belum juga mengeluarkan bau amis darah.
16:43 wib

21/
senyum dong yang... biar manis rona wajahmu. supaya cantik terasa jiwa penuh aura. tuh kan, enak dilihatnya... biar sekarang ku tusukkan bambu runcing itu melalui kerongkonganmu hingga keluar darah berwarna merah segar dari hidungmu dan tangis air mata dari mata bundarmu. sabar ya, sayang...
17:28 wib

22/
kamu belum tahu kan kalau pesona jiwamu menggelinjang tak karuan. seperti jelaga yang kau coreng didepan wajahmu. dakocan pun lebih tampan malam itu.
ayolah... jangan malu berkelakar sayang...
17:31 wib

23/
seperti semar kau tiada lagi samar. sebagai bunga dari istana mutiara embun harusnya kau membiarkan wajahmu saja tumbuh didalam pesona masing-masing kita. biar samar tak lagi seperti semar.
17:56 wib

24/
cantik, belum juga bosan mengantar hujan pada senjaku? sudahlah. aku saja bosan menerimanya. belum lagi yang masih gemericik dalam bis surat abu-abu itu. harusnya aku murka barangkali. tapi sudahlah. awan kelabu tak selamanya hujan. sedang mentari pasti akan menengok siangku. dan kuyakin esok ia akan sampai pada senja.
18:01 wib

hari-21, 23:57 wib

Hari ini mencekam tak seperti biasanya....

Apa kabarmu Bisri? Setelah lelah mengukur hari di atas pematang sawah. Kau biarkan air matamu luruh mendengarkan adzan maghrib yang tak selalu sanggup menghadirkan rejeki bagi mereka yang berpuasa –shaum, kata kawanku-. Masih kau telusuri jalanan sepanjang asia afrika? Barisan tunawisma yang jumlahnya cukup bagi kita untuk tak hentinya berdzikir.

Tak hanya di situ bukan? masih banyak mereka berdiam di desa-desa ngarai yang tak terjamah pandangan kita. Yang memiliki rumah namun angin menerpa tubuh saat subuh tiba setelah sebelumnya nyamuk-nyamuk menusuk tubuh mereka.

Sedang diluaran, kawan-kawan kita asik membakar uang dengan sebatang rokok atau sebotol bir mungkin. Bapakmu masih membakar bensin dengan mobil Merzy kebanggaan keluargamu itu bukan? atau, kakakmu masih saja tak hentinya memodifikasi mobil untuk dijadikan pusat perhatian dijalanan. Atau kawan kita yang satu itu, menelusuri asia afrika untuk kemudian belok ke alkateri dan jalan ABC yang masih saja penuh perempuan-perempuan yang mengais rejeki dengan kehangatannya, bahkan dibulan Ramadhan ini.

Kamu dimana saat itu bisri? menghabiskan waktu dikamar? menghabiskan waktu beriktikaf di dalam masjid yang megah itu? mengkaji Al-Quran untuk memperkaya batinmu sendiri? menghadiri ta’lim dari masjid satu ke masjid lain? ikut serta safari tarawih?

banyak orang yang menghabiskan Ramadhannya di atas gunung-gunung
di pesisir-pesisir pantai, masuk-masuk kedalam hutan
bahkan ada yang berdiam di dalam gua-gua
mengasingkan diri dari keramaian
mencari keheningan yang mendamaikan Ramadhan
tapi aku hanya ingin di sini, di surau sepi ditengah kota yang berdebu saat dzuhur
yang gelap tanpa cahaya saat maghrib dan isya
yang selalu senyap disaat shubuh berkumandang
sementara di luar, suara ceramah qobla tarawih meneriakkan kebenaran
anak-anak diperintahkan untuk banyak beramal
pemuda-pemuda dipaksa untuk beribadah dengan ancaman api neraka
tapi aku hanya ingin di sini, di surau sepi yang tak ada seorang pun pedulikannya
yang daun-daun pun berguguran hingga mengering di selasarnya
dimana kalian? ikhwan-ikhwan masjid, akhwat-akhwat penggiat ta’lim
yang di ba’iat Ramadhan untuk berserah diri
mendendangkan nasyid sebelum berbuka
melantunkan Al-Quran selepas shalat fardu beramai-ramai
memenuhi masjid-masjid besar dengan kajian-kajian aktual
sementara aku tetap disini, disurau sepi yang hampir rubuh
mengobati luka-luka dengan kemampuan yang tak seberapa
merajut dedaunan jati menjadi permadani yang meng-alasi shalat
mengajarkan tetumbuhan dan serangga-serangga mendendangkan shalawat
[12 oktober 200518:30]

Entah kenapa tiba-tiba aku merasa miris menyaksikan adegan di televisi tentang sebuah surau yang hampir saja ambruk itu. Apa kamu juga ikut menyaksikan? atau mungkin kau tengah mabuk bertilawah Quran dimasjid megah didepan rumah kamu. Sehingga lupa bahwa diluar masih banyak manusia yang tak seberuntung kamu bisa syahdu beri’tikaf didalam masjid dengan perut berisi cukup energi bergizi. Atau kamu mungkin tak tahu kalau kamu tak perlu bersitegang dengan sopir-sopir angkot akibat bayar ongkos yang kurang.

Hujan masih gerimis saat ini, dan aku menyaksikan lagi di televisi tentang kawan-kawan kita yang bersyiar lewat nada dan lantunan yang lazim disebut nasyid. Ah, buat apa itu semua. Jika diluar masih banyak orang yang mati kelaparan. Masih banyak orang yang kedinginan di pinggiran jalan didepan toko-toko pakaian di jalanan Oto Iskandardinata. Sebuah paradoks yang dingin. Atau mungkin aku lah yang tidak paham itu semua. Entahlah…
Yang pasti hujan semakin menderas dan dingin menyelusup di sela-sela solat tarawih dimasjid didepan rumahku. Sementara aku yakin benar ada orang yang merasakan dingin lebih dari ini. Tanpa sehelai kain sarung pun mungkin.

Bayanganku melayang ke sepanjang Asia Afrika, perempatan jalan di Dago hingga jalan Merdeka, juga di kolong-kolong jembatan Pasupati. Pada anak-anak busung lapar di Maluku, Lombok dan di pedalaman Irian Jaya. Pada korban gempa di Pakistan. Kemudian bayang melayang lagi pada seluruh ikhwan kita di Palestina. Saudara-saudara kita di Aceh, Ambon, Poso.

Sedangkan kita? masih saja betah bertilawah untuk pemuasan batin dan meraih pahala sebanyak-banyaknya sendirian. Beritikaf mengasingkan diri dari keramaian dan hiruk-pikuk keduniawaian. Menghabiskan waktu turut pada kajian-kajian aktual untuk pemenuhan ilmu sendirian.

Aku jadi teringat cerita guruku, tentang sebuah kota yang dilanda bencana. Alkisah suatu kota pada suatu zaman dihuni oleh orang-orang yang berdosa. Istri-Istri sudah tak mendengar kata-kata suaminya, anak-anak banyak sudah menentang ayah ibunya, dan para suami sudah tak ingat pulang menafkahi anak istrinya. Allah SWT akan menghancurkan kota itu dengan sebuah bencana yang maha dahsyat, belumlah kunfayakun seketika malaikat berinterupsi pada Allah SWT. “Ya, Allah… Ya Malikulmulki… Bukankah di kota itu tinggal si Fulan yang rajin beribadah kepadamu, yang malam hari ia habiskan untuk bersimpuh dihadapan-Mu, yang baginya setiap langkahnya selalu didasarkan dengan niatan baik dan semata setiap langkahnya adalah mengharap ridho-Mu? Bukankah ialah yang selalu mengumandangkan seruan solat setiap lima kali dalam sehari?” kemudian Allah SWT menjawab,”Apakah kau pikir jalan yang dilakukan si Fulan adalah jalan yang benar?. Memang ia sudah banyak beribadah padaku, menghabiskan malamnya dengan tahajud dan pasrah berserah, setiap langkahnya aku hitung sebagai ibadah, dan ialah yang selalu menyeru umat manusia di kota itu untuk beribadah dirumahku. Tapi ia tak pernah sedikitpun mengajak orang-orang sekitarnya untuk bersama-samanya beribadah, tak pernah ia mengajarkan ilmunya pada orang-orang, dan sama sekali ia lupa pada orang-orang yang mungin sedang kesusahan ditempat lain”. Mendengar itu semua malaikat menangis dan memohon ampun pada Allah SWT, “Ya Allah…. semua itu adalah mahlukmu, dan hakmu lah atas mereka-mereka itu”. Kemudian serta merta bencana melanda kota itu, seluruh penduduknya dilaknat Allah tanpa terkecuali termasuk si Fulan.

Begitulah Bisri. Jadi aku pikir buat apa semua sholat dan ibadahmu jika kau sama sekali lupa pada sekitarmu. Kamu biarkan anak-anak kecil mati kelaparan, kau biarkan istri-istri itu terlantar ditinggalkan suaminya. Dan kau pun sama sekali lupa pada mereka yang entah dimana akan menghabiskan malam menunggu senja.

Ah.. tapi setiap kita punya wilayah iman tersendiri. Dan aku tak bisa berbuat banyak sekarang. Air mata tak lagi luruh karena sudah kering rupanya. Namun doa masih akan mengalir dari mulut kita semua bukan? meluruh dari hati membasahi bumi yang haus cinta setelah bom-bom meledak dan bencana melanda.

Wallahualam Bishawab… Mungkin besok aku akan lebih cerewet….

WAWANCARA IMAJINER


berikut adalah petikan wawancara antara wartawan lepas the nothing whatever journal, bisri kabutlajeungan dengan anggawedhaswhara yang seorang performer artis itu. wawancara ini berlangsung ketika senja hari di sebuah tempat perhelatan budaya di utara kota Bandung. saat itu langit berwarna jingga dan membentuk aura keemasan di sekitar matahari. dan pada bagian ini yang paling menarik, gambar matahari itu bersinggungan dengan lambaian pohon kelapa. menarik.
karena senja sepertinya hendak berpamitan, juga agar wawancara ini bersetting pemandangan senja , maka wawancara dimulailah…

bisri : selamat sore mas, maaf jika saya mengganggu ritualnya. tapi sepertinya sangat sulit sekali mewawancarai anda disaat lain. anda terlihat sangat sibuk sekali sekarang…

angga : sebetulnya saya pilih-pilih orang dan media dalam melakukan wawancara. selain itu ;pertama, saya orangnya pemalu dan kurang begitu suka dengan publisitas. kedua, memang jarang-jarang ada ada mau mewawancari saya. ketiga, ya itu tadi saya cukup selektif..

bisri : baiklah, jika beg.. (wawancara terpotong)

angga : tunggu dulu, saya belum selesai… keempat, tolong jangan panggil saya dengan mas, panggil angga saja atau kang begitu. meski nama saya jawa sekali dan memang darah jawa sungguh kental dalam tubuh saya. tapi saya sangat suka dengan predikat orang sunda, sebab saya terlahir dan besar di tatar sunda…

bisri : ok.. ok.. mungkin saya langsung saja pada pertanyaannya. bisa tahu nama lengap mas.., maaf… kang angga..?

angga : anda wartawan apa petugas kelurahan? seperti tak ada pertanyaan yang berbobot saja… nanya yang lain dong, proses kreatif misalnya, atau apalah soal karya-karya saya…

bisri : baik.. baik.. tapi sebelumnya, berdasarkan contekan saya.. latar belakang pendidikan anda itu bukan kesenian ya.. lalu kenapa anda bisa jadi seorang performer artis yang kata orang-orang, kondang itu?

angga : lagi-lagi saya semakin curiga dengan anda.. sebenarnya anda wartawan atau mahasiswa sih? ko pake-pake contekan segala.. seperti orang yang ga percaya diri dan ga punya prinsip saja..

saat itu suasana jadi cukup mencekam, bisri yang dari tadi terlihat cukup sabar lambat laun mulai terlihat emosinya, namun ia tahan… dan tetap coba untuk lebih sabar…

bisri : maaf mas, tapi dari awal anda belum menjawab satu pun pertanyaan saya. sepertinya anda ini kurang serius sebagai seorang performer artis? benarkah?

angga : sebetulnya saya semakin bingung dengan anda. apa haknya anda menilai diri saya? dan sebelum terlambat, saya ingatkan sekali lagi. saya kurang suka dengan panggilan mas..

dan suasana pun semakin tegang.. bisri makin terlihat emosi, namun tetap sabar…

bisri : baik… baik… mungkin kita langsung saja pada kekaryaan anda. sebetulnya dari mana inspirasi anda dalam berkarya? dan apa sebenarnya yang hendak anda “katakan” dengan karya-karya anda?

angga : hmm… ini sebuah pertanyaan yang menarik dan cukup berbobot… begini, sebelumnya saya ingin bertanya pada anda. berapa kali anda melihat karya saya?

bisri : ya… sekitar tiga kali lah..

angga : kapan itu?

bisri : pertama, saya melihat performance anda di gd. lanraad dalam acara BaPaf #2 tahun lalu. lalu saya melihat karya kelompok anda bersama _sindikat semutmerah pada awal tahun ini dalam acara buah batu art festival di kampus stsi. terakhir, bulan april lalu ketika anda menampilkan karya I wanna be an angel di acara International Performance Art Festival 2nd IAPAO meeting di Rumah Nusantara…

angga : nah, menurut anda. karya-karya yang saya pertunjukkan bagaimana sih..?

bisri : ya menurut saya karya-karya itu cukup spektakuler. khususnya untuk performer artis sekelas anda… tapi, maaf mas. yang wartawan itu saya atau anda? (kalimat ini diucapkan dengan nada cukup keras)

angga : nah, anda pikir siapa?

tampak wajak bisri memerah hendak marah, dan auranya menjadi terasa panas tanda emosi… namun ia masih cukup sabar…

angga : wah, anda marah ya… sepertinya anda butuh minum… minumlah…

(saat ini angga menyodorkan segelas orange juice yang sudah dipesan dari tadi)

angga : semoga dengan minum, emosi anda dapat teratasi dan aura anda tidak terasa terlalu panas.. sayang jika kita terlalu sentimentil ketika senja seindah ini…

ingatlah, saat itu senja masih cukup indah dan dan langit masih berwarna jingga. ada aura keemasan disekeliling matahari…

sekarang emosi bisri sudah cukup dapat dikendalikan…

bisri : baik… maukah anda menjawab pertanyaan saya tadi? (saat ini nadanya terdengar memelas)

angga : baik… baik… bisakah anda ulangi pertanyaan anda? apa ya? maaf, saya memang sedikit pelupa…

bisri : (nadanya jadi sungguh tinggi) selain itu anda juga cukup menyebalkan dan berbelit-belit. bahkan terkadang sepertinya anda tidak serius dalam berkarya. belum lagi latar belakang pendidikan anda yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan profesi anda sebagai performer artis… juga, umur anda masih terlalu kecil. ya, begitupun ukuran tubuh anda…

setelah dialog terakhir itu, bisri pergi… namun angga mengejarnya… angga membalikkan badan bisri yang kecewa… terlihat wajah bisri yang sendu dengan mata berkaca-kaca tanda kecewa… dan sepertinya percakapan berlanjut…

angga : ada yang kurang… tolong sekalian ditulis juga… selain itu saya juga lelaki yang cukup sabar, mencintai kekasihnya, dan cukup tampan… jangan lupa ya…

bisri : anda ini… (bernada tinggi namun terpotong)

angga : o ya… kalo bisa headline ya… trus fotonya yang gede… kaya di tabloid belanja itu…

tanpa diduga, wawancara berubah menjadi sebuah aksi kejar-kejaran… kemudian datang pemeran pembantu berupa sebilah golok dan sebatang galah ikut serta… kejar-kejaran menjadi adegan tarik-tarikan… kemudian pukul-pukulan… dan perkelahian tak terhindarkan lagi… saat itu senja mulai hilang ditelan bumi dan langit mulai menghitam…

jelas sudah wawancara terhenti, mungkin suatu saat wawancara dapat berlangsung lagi… setelah si pewawancara mulai tenang dan si seniman mulai beranjak serius dan dewasa…

Kota[K] Mimpi

(taman kota mimpi, diambil di hari tak bertanggal)


M… retorikaku kini parau. Pada sekawanan awan yang bergelombang, kujumpai hari berkabut gelap. Kau mungkin tahu, realitas-realitas itu menjadi semu pada selaksa hari yang dusta. Kini, asumsi-asumsiku menjadi gamang. Pada jambangan dari Tiongkok pemberianmu, aku temui resah yang membahana. Harapanku sih, semoga esok hujan reda membentuk pelangi. Asyik, bukan?

O ya… aku punya cerita untukmu. Kemarin aku bertemu Zahra –tentu saja bukan kamu, sebab kamu bukan Zahra yang kumaksud bukan?- , ia memberiku sebuah kotak berwarna biru. Biru langit? biru laut? bukan,bukan biru seperti itu.
Dan kamu tau itu apa M?. mmmh… untuk yang ini, aku merasa perlu menceritakan padamu selengkapnya. Tak ada yang ku sensor, apalagi ku kurangi.
>>

“Wujudkan Mimpimu”, begitulah kira-kira bunyi dari slogan di suatu kota yang baru saja aku pijaki oleh kaki lunglaiku. Suatu kota yang hening, dan damai, tempat semua harap dan angan-angan terusahakan. Sebuah tempat aneh, tapi indah. Namun, apalah bedanya aneh dan indah, begitupun sebaliknya. Aneh dan indah hanya berbatas sebuah benang tipis –mungkin tipis sekali-. Bahkan dikota tempat asalku pun ini berlaku, tak beda, tak lebih, apalagi kurang.

Kembali ke soal tempat, atau mungkin kota ini. Konon, menurut kebanyakan orang yang pernah tinggal atau minimalnya menghirup udara kota ini –tempat ini-. Kota ini indah dan sangat cocok untuk jiwaku yang sedang gundah. Tempat dimana kegalauanku dapat kulepaskan, katanya.

Mungkin, kau akan bertanya ihwal kegundahan yang bergejolakan ini. Baik, sebelum lebih jauh berkata ke lain bahasan, mari kita coba bicarakan. Kejadiannya bermula dari kehadiranku ke tempat kekasihku Zahra. Sebuah nama yang indah, yang menimbulkan juta kerinduan.

Di tempat kekasihku itu, aku melepas kerinduan bersamanya. Setelah cukup berbincang tentang kita, Zahra meninggalkanku sesaat. Karena tak tahu akan melakukan apa, maka refleks saja tanganku menyentuh deretan buku-buku yang ada dimeja kamarnya. Sampai akhirnya tanpa kuduga dan otomatis saja kusentuh sebuah kotak yang yang letaknya tak jauh dari situ. Kotak itu sungguh menarik, karena ia keluarkan seberkas cahaya menarik hati, yang memancing kedua tanganku untuk membuka dan melihat isinya.

Sampai sudahlah tanganku memegang ujung kotak manis itu. Mungkin tinggal dalam hitungan detik saja dapat kubuka kotak itu. Kotak manis menarik kati. Hatiku bertanya-tanya, gerangan apa isi kotak itu.

Serta merta saja kubuka kotak itu, sesuatu –entah apa namanya- mengisyaratkan soal keraguan Zahra pada keyakinanku. Seketrika saja aku terhenyak dan tak mampu bicara apa, kenapa, dan bagaimana. Tapi satu hal lagi –entah apa lagi namanya- mengisyaratkan sesuatu yang sangat bertolak belakang. Hal itu isyaratkan soal cintanya Zahra kekasih hatiku yang sangat dalam. Hal kedua ini bukannya membuat aku bahagia, tapi malah membuat aku bingung.

Diantara dua hal tadi, mana yang benar dan mana yang tidak? mana yang nyata dan mana yang maya?. Lagi, aku tambah bingung dibuatnya.

Tak kulanjutkan lagi pengisyaratan hal-hal tadi, padahal mungkin masih ada sesuatu-sesuatu lain yang dapat kuisyaratkan. Tapi aku takut dan enggan. Karena jika saja Zahra mengetahuinya aku membuka kotak itu, tentu dan dapat dipastikan ia akan marah besar.

Seketika kututup kotak itu, dan lalu kusimpan ditempat asalnya. Hanya saja ketika akan kuletakkan, aku lupa keadaan awalnya. Gila!, Zahra itu sangat teliti. Ia bisa tahu hingga detil kecil keadaan barangnya. Apalagi kotak yang mungkin rahasia ini, yang pernah secara tak langsung ia menyatakan akan sangat marah –jika tidak dibilang murka- bila ada yang berani mengusik barang rahasianya itu. Dan kini, aku telah melihat isinya. Tidak!

Kuletakkan kotak itu menurut feelingku. Tak lama waktu berselang Zahra datang, dan kembali menyapa diriku dengan ramah. Sebuah sapaan dengan sejuta penawaran. Zahra sayang, Zahra cintaku: maafkan aku telah melukaimu. Saat itu hatiku bingung dan tak sanggup bicara banyak. Sampai pada akhirnya aku pulang, tak kukatakan hal itu.

Gila! setelah kesalahan itu, aku lakukan lagi kesalahan baru. Aku mendustainya.

Begitulah M…, sampai saat aku jejakkan kakiku di kota mimpi ini belum saja kuakui kebodohanku tadi. Sebuah kebodohan yang diliputi rasa keingin tahuan, aneh, dan yang pasti kebingungan gila ini…… aaargh!

Sekarang aku sudah ada di kota mimpi ini, sebuah kota yang menurut banyak orang memberikan berjuta pengharapan atas penyelesaian sebuah permasalahan. namun aku tak tahu pasti apa yang harus kulakukan sekarang. harus kemana terlebih dahulu kulangkahkan kakiku. Tanpa tahu arah pasti, kulangkahkan kakiku susuri jalanan kota mimpi ini.

Sampailah aku disebuah persimpangan. lagi-lagi hal yang aneh. Persimpangan ini memiliki bentuk yang hampir sama dengan persimpangan ditempatasalku, hanya saja persimpangan ini terbentuk dari sesuatu yang lagi-lagi aku tak tahu apa namanya. Berwarna coklat keemasan. Bersinar indah dan memberi benderang. Langit kota mimpi yang temaram, jadi terang. Bak siang bolong, ditempat asalku.

Aku terpana ditengah persimpangan benderang ini. Kiri, kanan, atau mungkin lurus? ; hatiku bertanya soal langkah kaki selanjutnya.

Sebelum sempat kulangkahkan kakiku –sepersekian detik waktu bumi- tubuhku bergetar. Kota ini gemetar. Gempa bumi? atau gunung meletus?. Semburat, aku berlari tak karuan. Cemas mencari jalan keluar.

Kini seketika gempa bumi itu berhenti. Tanpa isyarat. Tnpa aba-aba. Kurebahkan tubuh dibawah rindang pohon. Aku lelah. Jantung masih berdegup kencang.

Melepas lelah. Kurebahkan tubuh diatas rumput taman. Taman Mimpi, di Kota Mimpi.

Belum sempat kuturunkan ritme degup jantung ini, lagi aku dikagekan oleh hal lain. Langit kota mimpi membuka! Kiamat! “Tidak!” jangan kiamat dulu!!!

Seketika, sepersekian detik waktu bumi. Sepasang mata dari langit menatap taman ini. Mata Tuhan kah?

Bukan, aku tahu benar. Itu mata Zahra.
>>

Begitulah M… dan sampai saat ini pun, aku belum juga bangun dari mimpi yang sukar kumaknai itu. Padahal, sepasang mata telah cukup mengagetkanku.

Terakhir, maafkan aku M. Sebab menyeretmu pada mimpi yang gamang ini dan melibatanmu dalam persoalan yang masih saja sukar kumaknai.

fin

Related Posts with Thumbnails